Feature Lima terbaik yang berjudul "Cinta Bersemi di Batik Kayu" karya Asim Sulistyo, dalam ajang lomba penulisan Feature yang diadakan Yayasan Pangudi Luhur Bayat, Klaten pada bulan Mei 2014 di SMP Pangudi Luhur Bayat, Klaten Jawa-Tengah.
CINTA BERSEMI DI BATIK KAYU
Kerajinan batik tekstil merupakan salah satu mata
pencaharian masyarakat kabupaten Klaten, baik jenis batik tulis maupun batik
cap. Ada
beberapa desa yang merupakan sentra kerajinan batik terutama daerah-daerah
pedesaan, seperti desa Jarum, desa Gununggajah, desa Krakitan dan desa Kebon.
Dari sejumlah desa penghasil kerajinan batik, desa
Jarum merupakan sentra kerajinan batik yang paling tersohor di seluruh
nusantara bahkan sampai ke manca negara. Yang menjadi andalan batik Jarum
adalah bahan pewarnaan. Pada umumnya batik menggunakan pewarna sintetis, namun mulai
tahun 2000 batik Jarum menggunakan pewarna alami yang diambil dari getah tumbuhan-tumbuhan seperti akar
rumput, kulit kayu nangka, kulit kayu mahoni dan daun jati.
Masyarakat Jarum menggantungkan hidupnya dengan
kerajinan batik, baik sebagai pengusaha maupun sebagai tenaga kerja. Pemasaran cukup
dikampung sendiri dengan merubah rumah tinggal menjadi sebuah butiq, seperti
Batik Sarwidi, Batik Sekar Mawar, Batik Putri kawung, Batik Nardo dan Batik
Purwanti. Setiap hari banyak wisatawan
berkunjung untuk berbelanja atau sekedar mencari hiburan melihat-lihat batik
alami dan cara membuatnya.
Seiring perkembangan jaman, Sunardi putranya Purwanti
mampu mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi. Selepas SMA Negeri 1 Bayat,
tahun 2001 Sunardi kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta Jurusan Ekonomi
Akuntansi.
Disela-sela kesibukan kuliah, Sunardi pergi ke kantor
Pos Pusat Yogyakarta untuk mengirim surat
kepada Sri Rahayu. Gadis pujaannya semasa di SMA yang sedang bekerja di
perusahaan garmen di Bekasi. Sudah hampir dua tahun tidak ketemu, rasa kangen
cukup mengganggu konsentrasi dalam belajarnya. Tujuh kali Sunardi berkirim surat, tak satupun yang dibalas.
Kenangan semasa SMA tidak bisa dia lupakan, walaupun
teman kuliah banyak gadis yang tidak kalah cantiknya. Di hati Sunardi hanyalah
keluguan dan ketulusan Sri Rahayu, gadis dari desa Paseban, anaknya Sadinem
penjual intip goreng di komplek Makam Sunan Tembayat.
Setelah berkirim surat yang ke delapan, harap-harap cemas Sunardi
pulang dengan langkah gontai menyusuri jalan Malioboro. Sebisa mungkin menghibur
diri dengan melihat barang-barang kerajinan yang di jajakan di sepanjang jalan.
Berhenti sejenak di ujung jalan Malioboro dekat palang pintu rel kereta api
stasiun Tugu. Lima
menit kemudian balik lagi, penasaran dengan gelang kayu.
Walaupun tidak
bermaksud membeli, dorongan hatinya ingin tau lebih dalam “ bagaimana
cara menghias gelang kayu ini Pak”, tanya Sunardi. “Di batik Mas” jawab Suwito pedagang kaki lima.
Di akhir pembicaraan, Sunardi mengungkapkan
keinginannya untuk menjadi pengrajin batik kayu dan ibunya mengijinkan. Seminggu
kemudian Sunardi ke Malioboro mencari informasi alamat pengrajinnya dan berniat
untuk belajar membuat batik kayu.
Di desa Banguntapan kabupaten Bantul, tempat tinggal
Sutikno pengrajin batik kayu. Sunardi menemuinya dan mengutarakan keinginannya,
Sutikno mengijinkan. Dalam waktu tiga minggu, semua cara dan tehnik membatik
dia kuasai dengan mahir. Keasyikan dalam mempelajari batik kayu inilah, hati
sunardi tidak lagi galau memikirkan gadis pujaannya.
Walaupun belum lulus kuliah, setiap hari minggu Sunardi
mengumpulkan pemuda desa Jarum tanpa membedakan tingkat sosial dan agama.
Suranto, Haryanto, Slamet dan Sularto yang tekun belajar membuat batik kayu.
Awal pembelajaran tidak luput dari hinaan dan cercaan masyarakat, dengan
semangat dan dukungan ibunya, Sunardi bersama teman-temannya pantang menyerah.
Tiga bulan berikutnya, mulai memproduksi batik kayu secara bersama-sama
dengan bahan baku
yang diambil tidak jauh dari lingkungannya, seperti kayu mahoni, kayu jati, bambu
dan kayu sengon dengan pewarna batik alami. Hasil produksi berupa gelang,
cincin, sandal, nampan, tempat tisu dan asbak.
Seminggu sekali sambil berangkat kuliah, Sunardi
memasarkan dengan cara dititipkan pada pedagang kaki lima di Malioboro dan di komplek Makam
Pandanaran serta dia pasarkan lewat dunia maya. Sedikit untung cukup menghibur Sunardi
dan teman-temannya. Produksi makin besar, pesanan bermunculan dari berbagai daerah,
khususnya gelang kayu sebagai cenderamata tamu undangan pada acara pernikahan.
Tahun 2005 teman-teman Sunardi mulai membuka usaha
sendiri-sendiri. Sularto cukup sukses dengan dibantu tiga karyawan. Sebulan
penghasilannya mencapai lima juta rupiah. Hasil produksinya mampu menembus Jepang, Australia
dan Amerika.
Sepulang dari Wisuda tahun 2006, di depan kantor
kecamatan Bayat Sunardi dan ibunya melihat tujuh anak SD Negeri 1 Bayat memakai
gelang kayu batik Jarum. “gelang itu beli dimana Dik”, Tanya Sunardi. “di
Malioboro waktu Piknik Mas”, jawab anak-anak serentak. Sunardi terkesima dan
geli, hasil karyanya dipakai anak-anak Bayat yang mereka beli dari Malioboro.
(Penulis : Asim Sulistyo)
0 komentar:
Posting Komentar
Komentarlah sebagai tanda persahabatan.